TAK lama setelah Raden Danang Sutawijaya atau Panembahan Senopati ing Ngalaga, pendiri Kasultanan Mataram berdamai dengan penguasa Surabhaya Pangeran Panji Jayalengkara, kini Madiun mulai menunjukkan gelagat untuk melakukan pembelotan.

Madiun yang semula bergabung dalam wilayah Mataram Agung, mulai melakukan perlawanan.

Dan penguasa Madiun, Pangeran Timur putra bungsu Sultan Trenggana, raja ketiga Kasultanan Demak Bintara, mulai angkat senjata.

Sikap penguasa Madiun itu ternyata mendapat dukungan dari Pangeran Panji Jayalengkara yang semula berdamai dengan Mataram atas perintah Susuhunan Adi Giri Parapen dari Giri Kedhaton yang bertindak sebagai mediator.

Madiun mendapatkan sokongan 70 ribu bala tentara dari pasukan brang wetan, yakni Pangeran Panji Jayalengkara sang penguasa Surabhaya. Mereka bersiap-siap menggempur Mataram!

Sementara bala tentara Mataram saat itu hanya berjumlah 8.000 saja. Kekuatan yang tidak imbang sama sekali.

Namun, Ki Juru Martani yang dikenal sebagai Adipati Mandaraka memiliki siasat tersendiri.

Sebelum perang head to head dimulai, Mataram mengirimkan seorang wanita cantik bernama Nyai Adisara.

Dia ditandu oleh 40 prajurit Jayantaka memberikan nawala (surat) yang berisi penyerahan diri Panembahan Senopati dan takluk kepada penguasa Madiun.

Sontak, Madiun bersuka cita sehingga banyak pasukan brang wetan yang ditarik mundur meninggalkan barisan.

Di saat pasukan Madiun yang didukung pasukan brang wetan seperti Surabhaya dan Madura lengah dan kehilangan kewaspadaan, Mataram mulai menggerakkan pasukannya!

Pasukan dibagi menjadi tiga bagian, yaitu sayap kanan, tengah dan kiri. Sayap kanan dipimpin Pangeran Singasari dengan bala tentara pesisir utara, yakni Demak.

Sayap tengah dipimpin penguasa Pathi Pesantenan Adipati Pragola, putra Ki Ageng Penjawi dengan kekuatan balatentara dari Pathi dan Pajang.